Larangan Kantong Plastik: Bikin Susah Rakyat, Sampah Tetap Numpuk!
Pendahuluan
Bayangkan kamu lagi belanja di Alfamart, tiba-tiba kasir bilang, “Ada bawa plastik sendiri?” Bingung, kan? Itulah yang saya rasakan saat tahu per 1 Mei 2025, minimarket seperti Alfamart dan Indomaret nggak boleh kasih kantong plastik lagi. Katanya sih ini aturan pemerintah buat kurangi sampah plastik. Tapi, apa iya larangan ini tepat? Bukannya bikin rakyat susah, sementara sampah plastik dari kemasan produk tetap numpuk? Yuk, kita bedah masalah ini dan cari solusi yang lebih masuk akal!
Kantong Plastik: Penyumbang Sampah Kecil, Tapi Jadi Sasaran
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) bilang sampah di Indonesia mencapai 68 juta ton per tahun, dengan sampah plastik sekitar 17-20% (11-13 juta ton). Tapi, kantong plastik sekali pakai (kresek dari minimarket) cuma nyumbang 1,6-3% dari total sampah (1,1-2 juta ton). Bandingkan sama kemasan produk seperti botol, sachet, dan bungkus makanan yang nyumbang 10-13%! Logikanya, kenapa yang kecil-kecil dilarang, sementara yang besar dibiarkan?
Kantong plastik memang nggak sempurna. Mereka susah terurai, sering nyangkut di sungai, dan bikin pemandangan jelek. Tapi, mereka juga punya manfaat. Di rumah, kresek sering dipakai buat simpan barang, bawa keperluan ke kebun, atau jadi tempat sampah kecil. Jadi, sebelum koyak, kantong ini masih berguna. Larang kresek artinya rakyat kehilangan alat praktis, apalagi kalau belanja dadakan tanpa bawa tas reusable.
Kenapa Larangan Ini Terasa Nggak Tepat?
Saya nggak bilang sampah plastik bukan masalah. Tapi, larangan kantong plastik ini kayak menyapu halaman kecil, sementara kebun besar (kemasan produk) masih berantakan. Beberapa alasan kenapa aturan ini bikin kesal:
- Bikin Repot Konsumen: Belanja spontan jadi susah tanpa kresek. Beli tas reusable? Harganya nggak selalu murah, apalagi di tengah harga barang yang sudah mahal (inflasi pangan 5-7% per tahun, kata BPS 2024).
- Efektivitas Diragukan: Kantong plastik cuma 1,6-3% dari sampah. Larang mereka nggak otomatis selesaikan masalah, kalau kemasan produk dan pengelolaan sampah nggak dibenahi.
- Beban ke Rakyat: Kenapa konsumen yang disuruh bawa tas sendiri, sementara produsen besar kemasan plastik nggak diatur ketat? Ini kayak pemerintah pilih jalan gampang: larang minimarket, bukan atur perusahaan raksasa.
- Alternatif Kurang Praktis: Tas reusable bagus, tapi nggak semua orang siap bawa tas tiap saat. Kantong kertas atau biodegradable? Kadang nggak tersedia atau harganya bikin mikir.
Fokus ke Penyumbang Sampah Terbesar!
Kalau mau serius kurangi sampah, harusnya pemerintah prioritaskan penyumbang terbesar: kemasan produk. Sachet, botol, dan bungkus makanan menyumbang 10-13% dari total sampah—jauh lebih besar dari kresek. Contohnya, tiap belanja, hampir semua barang punya kemasan plastik: sabun, camilan, minuman, deterjen. Satu kantong kresek bisa muat 10 barang, tapi tiap barang itu sendiri bikin sampah plastik lebih banyak!
Lalu, ada masalah pengelolaan sampah. Hanya 15-20% sampah plastik didaur ulang di Indonesia. Sisanya numpuk di TPA, sungai, atau laut. Larangan kantong plastik nggak akan banyak membantu kalau sistem daur ulang dan TPA nggak diperbaiki. Jadi, akar masalahnya bukan cuma kresek, tapi cara kita kelola sampah dan kebiasaan produsen pakai plastik berlebihan.
Solusi yang Lebih Masuk Akal
Alih-alih larang kantong plastik, ada cara lain yang nggak bikin rakyat susah dan lebih berdampak:
- Atur Produsen Kemasan: Wajibkan perusahaan kurangi kemasan plastik, misalnya larang sachet ganda atau pakai bahan biodegradable. Dorong penjualan curah (sabun, beras, deterjen) di minimarket, biar konsumen bawa wadah sendiri.
- Tingkatkan Daur Ulang: Bangun fasilitas daur ulang modern di tiap daerah, pakai teknologi seperti pirolisis (ubah plastik jadi bahan bakar). Ajak minimarket buat program ambil kembali kresek bekas untuk didaur ulang.
- Kantong Alternatif Murah: Kalau kresek dilarang, sediakan kantong kertas atau biodegradable dengan harga terjangkau (misalnya Rp500 per kantong). Atau tarik biaya kecil per kresek, seperti di Inggris, biar orang mikir tapi nggak terlalu terbebani.
- Edukasi dan Infrastruktur: Kampanye pilah sampah, tapi sediakan tempat sampah terpisah di perumahan dan pasar. Bangun “bank sampah” di kelurahan, tempat warga tukar plastik bekas dengan voucher.
- Manfaatkan Kresek: Dorong masyarakat pakai ulang kresek untuk keperluan rumah, kebun, atau lainnya. Minimarket bisa pasang dropbox untuk kumpulin kresek bekas buat daur ulang.
Kesimpulan
Larangan kantong plastik mungkin terlihat keren di berita, tapi di lapangan? Bikin rakyat susah, apalagi di tengah harga barang yang sudah mahal. Kantong plastik cuma nyumbang 1,6-3% dari sampah, sementara kemasan produk 10-13%. Kalau pemerintah serius mau kurangi sampah, fokuslah ke penyumbang terbesar dan perbaiki sistem daur ulang. Jangan cuma bebankan konsumen, tapi ajak produsen dan ritel bertanggung jawab. Kresek mungkin kecil, tapi mereka berguna sebelum koyak. Yuk, cari solusi yang bikin hidup mudah dan lingkungan bersih!
Catatan Penulis
Tulisan ini terinspirasi dari pengalaman pribadi di kasir Alfamart, saat bingung nggak dapat kantong plastik. Saya nggak anti lingkungan, tapi rasanya aturan ini kurang pas kalau cuma bikin rakyat repot tanpa selesaikan akar masalah sampah. Data di blog ini diambil dari sumber resmi seperti KLHK dan BPS, ditambah obrolan seru dengan Grok, AI yang bantu saya susun argumen. Kalau kamu punya pengalaman atau ide soal sampah plastik, share di kolom komentar, ya! Bersama, kita cari solusi yang nggak cuma keren di kertas, tapi beneran works di lapangan.
Komentar