Entri yang Diunggulkan

EXCELLENT SERVICE

Inspirasi Pagi: Kekuatan Pelayanan Prima dan Motivasi yang Menyala Oleh: Eeng Kota Sanggau Tanggal: Senin, 28 April 2025 Di sebuah sudut kota Victoria, British Columbia, berdiri sebuah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) yang tidak biasa. Dimiliki oleh seorang pebisnis sekaligus motivator inspiratif bernama Dunsmuir, SPBU ini bukan sekadar tempat mengisi bahan bakar, tetapi juga simbol pelayanan prima dan semangat kerja yang luar biasa. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kerja keras, ketulusan, dan motivasi dapat mengubah pekerjaan sederhana menjadi batu loncatan menuju kesuksesan. Pelayanan yang Mengesankan di SPBU Dunsmuir Berbeda dengan kebanyakan SPBU di Amerika Serikat yang menerapkan sistem self-service , SPBU milik Dunsmuir menawarkan pengalaman pelayanan penuh. Setiap mobil yang datang disambut oleh empat pekerja muda yang bekerja dengan cekatan dan penuh semangat: Peke...

Kapuas Raya: Impian Provinsi Baru yang Terhenti di Dermaga Moratorium

Kapuas Raya: Impian Provinsi Baru yang Terhenti di Dermaga Moratorium

A journey of aspiration, economic potential, and the struggle against bureaucracy

Di tepi Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, sebuah mimpi besar mengalir bersama arus. Mimpinya sederhana namun penuh harapan: menjadikan Kapuas Raya—wilayah yang mencakup Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu—sebagai provinsi baru di Kalimantan Barat. Di balik hutan lebat, perkebunan sawit yang luas, dan perbatasan dengan Sarawak, Malaysia, ada cerita tentang aspirasi masyarakat, potensi ekonomi yang terpendam, dan perjuangan panjang melawan birokrasi pusat yang bernama moratorium. Ini adalah kisah tentang Kapuas Raya, sebuah kapal impian yang masih menunggu di dermaga, tapi siap berlayar jika pemerintah membuka pintu.

Awal Mula: Mimpi yang Lahir dari Jarak dan Harapan

Bayangkan perjalanan dari Sintang ke Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Jarak 400 kilometer, melintasi jalan yang kadang mulus, kadang berlubang, memakan waktu hingga 10 jam. Bagi warga Kapuas Hulu, perjalanan bahkan bisa mencapai 600 kilometer. Di era digital ini, jarak bukan sekadar angka—it’s a burden. Pelayanan kesehatan terlambat, pendidikan sulit diakses, dan koordinasi administrasi seperti mimpi buruk.

“Kami merasa seperti anak tiri di provinsi sendiri,” kata seorang tokoh masyarakat di Sintang, menggambarkan perasaan terpinggirkan.

Mimpi Kapuas Raya lahir dari kenyataan ini. Pada tahun 2002, wacana pemekaran mulai bergema di forum-forum lokal. Masyarakat di lima kabupaten melihat potensi wilayah mereka: perkebunan sawit yang menghasilkan miliaran rupiah, cadangan bauksit dan batu bara, serta keindahan Taman Nasional Danau Sentarum yang bisa menyaingi destinasi dunia. Mereka yakin, menjadi provinsi berarti memiliki otonomi untuk mengelola sumber daya, mendekatkan pemerintahan, dan membuka pintu kemakmuran. Pada 2007, proposal resmi pertama diajukan ke DPR RI, didukung kajian Universitas Tanjungpura (Untan) yang menyatakan Kapuas Raya layak secara ekonomi, sosial, dan administratif.

Namun, seperti kapal yang terjebak di pelabuhan, mimpi ini terhenti. Moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB) sejak 2008, yang diperkuat pada 2014 di bawah UU No. 23 Tahun 2014, menjadi tembok besar. Pemerintah pusat khawatir banyak DOB gagal mandiri—78% bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU), menurut Kemendagri.

“Kami bukan DOB sembarangan,” bantah seorang aktivis di Sanggau. “Kami punya sawit, pertambangan, dan perbatasan dengan Malaysia. Apa lagi yang kurang?”

Perjuangan Berulang: Proposal yang Tak Pernah Menyerah

Sejak 2007, Kapuas Raya seperti pelaut yang terus mencoba mengarungi badai birokrasi. Proposal diperbarui tiga kali: pada 2013-2014, didukung rekomendasi DPD RI, dan pada 2018-2019, dengan lobi DPRD Kalbar dan DPR RI Dapil Kalbar II. Gubernur Sutarmidji (2018-2024) bahkan menyiapkan lahan 32 hektar di Sintang untuk kantor gubernur dan anggaran Rp 10 miliar dari Pemprov Kalbar.

“Semua syarat sudah lengkap,” katanya pada 2022, “tapi bola ada di tangan pusat.”

Pada 2021, DPD RI melalui Sukiryanto menyerahkan proposal terbaru kepada Ketua DPD LaNyalla Mattalitti, yang berjanji memperjuangkan Kapuas Raya. Namun, moratorium tetap berdiri kokoh, seperti karang yang menghalangi kapal. Pengecualian hanya diberikan untuk Papua (misalnya, Papua Barat Daya pada 2022), sementara Kapuas Raya terus menunggu.

“Kalau Papua bisa, kenapa kami tidak?” tanya seorang warga Kapuas Hulu di forum Musyawarah Rakyat Kapuas Raya.

Potensi yang Menggoda: Ekonomi dan Perbatasan

Di balik penundaan, Kapuas Raya menyimpan harta karun yang membuatnya sangat layak menjadi provinsi. Bayangkan ladang sawit di Sanggau dan Sintang, menghasilkan ekspor CPO Rp 500 miliar per tahun dari Sanggau saja (BPS 2023). Tambahkan cadangan bauksit di Sanggau, batu bara di Sintang, dan emas di Kapuas Hulu. Jika dikelola sebagai provinsi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperkirakan mencapai Rp 1-1,5 triliun, jauh lebih besar dari Papua Barat Daya (±Rp 100 miliar).

“Kami bukan daerah miskin,” kata seorang pengusaha di Melawi. “Kami hanya perlu otonomi untuk terbang.”

Lalu, ada perbatasan dengan Sarawak, Malaysia, yang menjadi permata di mahkota Kapuas Raya. Sintang (Kayan Hulu, Ketungau Hulu), Sanggau (Entikong), dan Kapuas Hulu (Badau) memiliki jalur darat ke Sarawak, tetapi banyak yang masih berupa hutan atau desa tanpa pos lintas batas (PLB) resmi. Entikong sudah beroperasi, tapi jalur di Sintang rawan penyelundupan kayu dan narkoba karena minim pengawasan.

“Kalau kami jadi provinsi, PLB baru di Sintang bisa dibangun,” ujar seorang tokoh adat di Ketungau Hulu. “Ekspor sawit dan ikan air tawar akan melonjak, penyelundupan berkurang.”

Perbatasan ini bukan sekadar garis di peta. Ini adalah pintu ke pasar ASEAN. Kalimantan Utara, setelah menjadi provinsi pada 2012, meningkatkan ekspor kayu ke Sabah sebesar 30% dalam lima tahun. Kapuas Raya bisa melakukan hal serupa dengan sawit, karet, dan pariwisata lintas batas ke Danau Sentarum.

PprPariwisata juga menjadi kartu as. Taman Nasional Danau Sentarum dan Gunung Palung, rumah bagi orangutan dan biodiversitas unik, bisa menyaingi destinasi dunia jika dipromosikan. Sungai Kapuas menawarkan arung jeram dan kano, sementara budaya Dayak dan Melayu menarik wisatawan budaya. Dengan otonomi provinsi, Kapuas Raya bisa mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur wisata, seperti yang dilakukan Bali.

Tanggapan dan Sudut Pandang: Antara Dukungan dan Kekhawatiran

Dukungan Masyarakat dan Pemda

Masyarakat di lima kabupaten bersatu dalam aspirasi. Forum seperti Musyawarah Rakyat Kapuas Raya rutin digelar, dan media lokal seperti SenentangNews.com sering mengkampanyekan pemekaran.

“Kami ingin pemerintahan yang dekat, bukan di Pontianak yang 10 jam perjalanan,” kata seorang ibu di Sekadau.

Gubernur Sutarmidji dan DPRD Kalbar mendukung penuh, dengan alasan bahwa Kapuas Raya akan mempercepat pembangunan tanpa merugikan Kalbar. Kajian Untan (2013) memperkuat argumen ini: Kapuas Raya layak tanpa mengganggu fiskal provinsi induk.

Kekhawatiran Pusat

Pemerintah pusat, melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2019-2024), menegaskan moratorium karena 78% DOB gagal mandiri, membebani APBN.

“Kami tak ingin Kapuas Raya jadi beban baru,” kata seorang pejabat Kemendagri pada 2022.

Ada kekhawatiran tentang korupsi, mengingat kasus di Kalbar seperti Dinas PUPR Mempawah (2023). Pusat takut otonomi baru justru memperburuk tata kelola jika SDM tidak siap.

Tanggapan terhadap Kekhawatiran

Masyarakat Kapuas Raya menolak label “DOB bermasalah.”

“Kami punya sawit, pertambangan, dan perbatasan. Bandingkan dengan Papua Barat Daya yang PAD-nya cuma Rp 100 miliar,” kata seorang aktivis di Sintang.

Soal korupsi, warga menegaskan bahwa pusat juga bermasalah. “Perizinan tambang dan ekspor sering korup di Jakarta,” ujar seorang pengusaha sawit.

Pemerintahan Prabowo-Gibran: Harapan Baru?

Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dilantik Oktober 2024, seperti angin segar bagi Kapuas Raya. Prabowo, dengan fokus pada keamanan perbatasan dan hilirisasi sumber daya, cocok dengan potensi Kapuas Raya: PLB baru di Sintang untuk ekspor sawit dan pengendalian penyelundupan. Gibran, mantan Wali Kota Solo, dikenal inovatif dan dekat dengan aspirasi muda.

“Gibran paham pembangunan lokal,” kata seorang pemuda di Sintang. “Dia bisa jadi jembatan ke pusat.”

Namun, program nasional seperti IKN Nusantara dan ketahanan pangan menyedot APBN, dan moratorium DOB belum dicabut hingga Mei 2025. Retreat kepala daerah di Magelang (2025) menjadi peluang emas bagi Gubernur Ria Norsan.

Status Terkini: Kapal yang Masih Menunggu

Hingga Mei 2025, Kapuas Raya masih terhenti di dermaga moratorium. Proposal telah memenuhi syarat UU No. 23 Tahun 2014, tetapi RUU belum masuk Prolegnas DPR RI. Wacana revisi UU No. 23 Tahun 2014 memberikan harapan, tetapi belum ada kepastian.

Langkah ke Depan: Apa yang Harus Dilakukan?

Gubernur Ria Norsan dan Pemda Kalbar harus:

  1. Perbarui Proposal: Lengkapi dengan data ekonomi terbaru dan fokus pada perbatasan.
  2. Lobi Politik: Melobi DPR RI, DPD RI, dan Mendagri baru.
  3. Galang Dukungan Publik: Hidupkan forum dan kampanye di media sosial.
  4. Atasi Korupsi: Sertakan komitmen tata kelola transparan.
  5. Satukan Kabupaten: Klarifikasi status Sanggau.

Mengapa Kapuas Raya Tidak Bisa Ditunda Lagi?

Kapuas Raya adalah solusi untuk pemerataan pembangunan, keamanan perbatasan, dan kemakmuran Kalimantan. Setiap tahun penundaan adalah kerugian: penyelundupan di Sintang merugikan miliaran rupiah, ekspor sawit terhambat, dan pariwisata Danau Sentarum tertidur.

“Kami bukan meminta, kami menuntut hak,” kata seorang tokoh Dayak di Kapuas Hulu.

Penutup: Kapal yang Siap Berlayar

Kapuas Raya adalah kapal yang telah siap berlayar, dengan muatan potensi ekonomi, keamanan perbatasan, dan harapan masyarakat. Moratorium adalah dermaga yang menahannya, tetapi pemerintahan Prabowo-Gibran bisa menjadi angin yang mendorong. Gubernur Ria Norsan, DPRD Kalbar, dan warga lima kabupaten harus bersatu, memperbarui proposal, dan melobi tanpa lelah. Kapuas Raya bukan hanya mimpi—it’s a future worth fighting for.

Catatan Penulis

Sebagai penulis, saya melihat Kapuas Raya sebagai cerminan semangat otonomi daerah di Indonesia—sebuah perjuangan untuk keadilan dan kemakmuran. Namun, saya juga menyadari tantangan sistemik seperti korupsi dan prioritas pusat yang sering menghambat. Kisah ini mengajarkan bahwa aspirasi lokal harus diimbangi dengan strategi politik dan tata kelola yang kuat. Saya berharap Kapuas Raya segera berlayar, bukan hanya untuk Kalimantan Barat, tetapi sebagai inspirasi bagi daerah lain. Mari dukung dengan suara dan tindakan—#KapuasRayaProvinsi!

© 2025 Grok, Created by xAI. All Rights Reserved.

Komentar